Asset Based Community Development atau Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) merupakan
suatu kerangka kerja yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann,
di mana keduanya adalah pendiri dari ABCD Institute di Northwestern University.
ABCD dibangun dari kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki
oleh anggota komunitas, kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari
lembaga lokal untuk menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan
(Kretzman, 2010). 12 Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA)
muncul sebagai kritik terhadap pendekatan konvensional atau tradisional yang
menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan yang ada pada suatu
komunitas. Pendekatan tradisional tersebut menempatkan komunitas sebagai
penerima bantuan, dengan demikian dapat menyebabkan anggota komunitas menjadi
tidak berdaya, pasif, dan selalu merasa bergantung dengan pihak lain.
Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) menekankan pada nilai,
prinsip dan cara berpikir mengenai dunia. Pendekatan ini memberikan nilai lebih
pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki
oleh komunitas.
Pendekatan PKBA menekankan dan mendorong komunitas
untuk dapat memberdayakan aset yang dimilikinya serta membangun keterkaitan
dari aset-aset tersebut agar menjadi lebih berdaya guna. Kedua peran yang
penting ini menurut Kretzman (2010) adalah jalan untuk menciptakan warga yang
produktif. Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset menekankan kepada
kemandirian dari suatu komunitas untuk dapat menyelesaikan tantangan yang
dihadapinya dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada di dalam diri
mereka sendiri, dengan demikian hasil yang diharapkan akan lebih berkelanjutan.
Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset berfokus pada potensi
aset/sumber daya yang dimiliki oleh sebuah komunitas. Selama ini komunitas
sibuk pada strategi mencari pemecahan pada masalah yang sedang dihadapi.
Pendekatan PKBA merupakan pendekatan yang digerakkan
oleh seluruh pihak yang ada di dalam sebuah komunitas atau disebut sebagai community-driven development. Di dalam
buku ‘Participant Manual of Mobilizing
Assets for Community-driven Development’ (Cunningham, 2012) menuliskan
perbedaannya dengan pendekatan yang dibantu oleh pihak luar. Penjelasan yang
ada sebetulnya ditujukan untuk pengembangan masyarakat, namun tetap bisa kita
implementasikan pada lingkungan sekolah karena sebetulnya adalah miniatur
sebuah tatanan masyarakat di suatu daerah.
Pada kegiatan ini seorang CGP diminta untuk memaparkan
cara memanfaatkan pengelolaan sumber daya dengan proses belajar murid. Lingkungan
sekolah saya memiliki lahan yang luas, memiliki guru yang masih muda dan
memiliki ruang serbaguna yang bisa menampung 300 orang dalam kegiatan yang
berskala besar. Pada kegitan teori Penjasorkes, saya mengajak anak-anak dengan
sebuah pembelajaran diluaar kelas. Saya bisa melakukan pembelajaran dibawah
pohon yang rindang. Membentuk kelompok-kelompok kecil dalam diskusi luar kelas
nantinya. Untuk kegiatan praktik olahraga, saya menggunakan lapangan olahraga
yang teduh dan juga memiliki saran yang memadai. Saya bisa membuat pembelajaran Game Team
Tournament, Pembelajaran dalam kelompok kecil lainnya. Anak-anak saya minta
untuk mengeksplorasi materi yang sudah dipahami terlebih dahulu, agar siswa
dapat mengambil nilai-nilai positif dalam kegiatan pembelajaran yang lebih
bermakna. Lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan membuat saya tidak
terlalu khawatir terhadap keamanan siswa dalam melaksanakan kegiatan.
Sekolah saya juga mempunyai proyektor dan juga
masing-masing kelas memiliki laptop. Laptop ini selain milik sekolah guru-guru
juga memilikinya. Presentasi kelompok juga banyak dilakukan siswa dalam
kegiatan ini. Selain itu saya juga memiiki e-learning pribadi yaitu www.e-penjas.online . Memang ada
perubahan siswa saat belajar mengguakan media elektronik dan tidak. Pada saat
menggunakan media elektronik siswa menjadi fokus dan setelah kegiatan tersebut
terlihat siswa menggunakan elearning dalam pembelajaran mandiri di kelas.
Pelaksanaan pembelajaran di sekolah saya menggunakan
pembelajaran berdiferensiasi. Kegiatan ini dapat terlihat dari kegiatan di
e-learning saat pembelajaran dikelas dengan kesepakatan kelas. Kesepakatan
kelas ini dibuat oleh siswa dan dibimbing oleh guru. Dengan membuat kesepakatan
kelas siswa memang terlihat tenang dan mematuhi aturan yang sudah mereka buat.
Guru juga tidak lagi memaksakan siswa untuk harus bisa dengan materi yang ada
di sekolah, disini guru paham bahwa siswa memiliki kelebihan sesuai kodrat alam
mereka. Tugas guru disini adalah menemukan kelebihan mereka tersebut sehingga
apabila mereka paham dengan kelebihan yang mereka punya mereka bisa melatih dan
mengembangkan potensi yang mereka miliki tersebut.
Pada saat sebelum mengikuti guru penggerak saya sudah
terbiasa membawa siswa ke lingkungan sekolah. Kami memang banyak melakukan
praktik-praktik kecil sederhana di luar kelas. Saya juga sering menggunakan
proyektor dalam proses pembelajaran. Namun saya masih memberikan tugas yang
sama kepada seluruh siswa. Setelah mengikuti PGP angkatan 1 ini saya lebih
memahami kelebihan yang dimiliki siswa. Dalam pemberian tugas pun saya
memberikan pilihan kepada siswa boleh lewat tulisa, suara atau dalam bentuk
gambar. Siswa juga terlihat lebih bersemangat dalam mengerjakan tugas yang saya
berikan tersebut. Saya juga mulai membuat kesepakatan kelas bersama siswa. Saya
melihat ide-ide cemerang yang dikemukakan oleh siswa.
0 Post a Comment: